Geng Gulali

Karya : Nabilla Dhani Amanda
            Hari ini aku membentuk teman kelompok bernama Geng Gulali. Pembentukkan geng ini bukannya untuk menandakan kami semacam kelompok yang sparatis dari teman-teman yang lain. Tapi karena kami sekelompok dalam pelajaran apapun karena nomor absen kami berkelipatan lima. Sejak saat itu kami sering bermain dan menjadi dekat.
            Everdeen adalah temanku sejak taman kanak-kanak sampai saat ini. Aku sering memanggilnya Ev. Sejak kecil kami sangat suka petualangan. Jika pulang sekolah kami selalu menyempatkan bermain di sawah, menangkap kecebong, memanjat pohon, dan bermain sepeda. Kami kurang suka bermain dengan boneka atau bermain masak-masakan. Maka dari itu kami sangat terkenal tomboi.
            Lalu ada Finnick, dia adalah teman SMP kami waktu kelas delapan. Ia adalah anak baru, pindahan dari Jakarta. Dia adalah anak laki-laki tampan yang sangat rapi-menurutku, dia juga sangat suka olah raga. Aku ingat dia selalu mendapatkan nilai A pada pelajaran itu.
            Lalu ada Nash, awalnya dia dalah teman dekat Finnick dan jarang bermain dengan kami tapi lama kelamaan dia ikut kedalam geng ini. Saat kelas delapan, Ibunya meninggal dan Ia menjadi sangat pendiam, Ia pernah bercerita sekali padaku dan Everdeen bahwa Ibunya adalah korban tabrak lari, waktu itu Ia dan Ibunya sedang menyebrang, namun Nash berjalan jauh di belakang Ibunya. Ia masih ingat mobil yang menabrak Ibunya, berwarna abu-abu dengan stiker “Jaga Jarak” dan “Awas Ada Singa” di kaca belakangnya. Ia bersumpah akan membunuh orang yang menabrak Ibunya. Entah tapi menurutku Ia hanya berbicara sembarangan karena terbawa perasaannya yang sedang emosi mengingat kejadian itu sudah delapan tahun berlalu. Meskipun dia pendiam dia sangat lincah memainkan jarinya diatas piano.
            Kemudian ada Ryan, teman kami sejak kelas sembilan SMP. menurut Everdeen dia adalah laki-laki yang manis dengan kacamata berwarna hitam dengan aksen warna merah diujungnya. Ryan adalah yang terpintar dari kami. Saat bermain dengan kami dia selalu membawa buku yang berbeda-beda. Dari novel, biografi, majalah, sampai buku pelajaran. Dia memang sangat suka membaca, mungkin itu mengapa ia menggunakan kacamata yang lumayan tebal. Dia juga tak kalah rapinya dengan Finnick.
            Tidak terasa sudah enam tahun aku menghabiskan waktu bersama Geng Gulali ini, meskipun kita jarang bertemu. Tapi, Aku dan Nash sudah merencanakan perjalanan untuk berkemah di suatu tempat bernama “Line Cherry Cherry”, tempat itu hanya buka sekali dalam setahun, saat bulan purnama tiba dan tempat itu selalu penuh. Jadi, jauh hari Aku sudah menyusun jadwal sedemikan rupa, bersama Everdeen, Finnick, Nash, dan Ryan. Dan akhirnya waktu itupun tiba.
            Kami sudah sepakat rumah Nash dijadikan tempat untuk berkumpul, karena rumah yang baru Ia beli sangat dekat dengan tempat perkemahan itu, entah kenapa ia membelinya secara mendadak. Sore hari sebelum keberangkatan, kami sudah membawa perlengkapan dan peralatan yang dibutuhkan dengan tas yang dibawa masing-masing dan kami menginap di rumah Nash. Rumah yang Nash beli adalah tipe minimalis dengan warna dominan merah dan abu-abu. Terdapat tiga kamar dua di atas dan satu di bawah yang bersebrangan dengan tangga.
            Setelah selesai makan malam kami semua langsung tidur karena kami tak ingin terlalu lelah untuk esok harinya. Aku satu kamar dengan Everdeen, sebelum tidur dia bertanya kepadaku kenapa Nash membeli rumah ini seketika aku memberi tahunya bahwa kita akan berkemah disana, tapi tentu aku tidak tahu apa alasannya.
            Pagi harinya jam empat kurang, Aku bangun lebih pagi agar aku bisa mandi lebih duluan. Saat aku keluar di ruang tengah dengan membawa handuk dan baju, Nash sudah mempersiapkan sarapan di atas meja untuk kami. Ryan yang baru turun dari tangga tampak bingung.
“Rajin juga ya kamu, Nash” Ryan berbicara sambil menurungi tangga.
“Tahu nih Nash” Aku pun menambahkannya.
“Ya sekali-sekali tidak apa-apa kan” Nash menjawab sambil tersenyum kecil.
            Aku langsung menuju kamar mandi yang berada di belakang tangga. Sekitar lima belas menit aku selesai mandi, dan langsung membangunkan Everdeen, karena dia memang susah bangunnya. Jam setengah lima semuanya sudah bersiap-siap kecuali Finnick, akhir-akhir ini Ia sangat memperhatikan rambutnya yang bergelombang. Jam setengah enam kami pun menaiki mobil Finnick dan berangkat menuju perkemahan “Line Cherry Cherry”. Di perjalanan Ryan bertanya pada kami semua.
“Semalam kok aku mendengar suara langkah kaki ya?” tapi Finnick langsung menjawab
”Ah dasar kamu, Ryan. Kamu tuh semalam bermimpi, saat tidur saja kamu berbicara tidak jelas”.
“Ah ya sudah kalau tidak percaya.” Ryan menjawab dan yang lainnya hanya tertawa kecil mendengar perkataan Finnick.
            Sesampainya di gapura kami membayar tiket masuk, entah kenapa saat Finnick membayar tiket tersebut petugas memandangnya sinis. Dia memberi kami semacam tips
“Kalau kalian menemukan rumah besar, tolong jangan masuk dan mecoret-coret temboknya ya. Pokoknya jangan saja”. kata Petugas.
            Kami hanya bisa mengangguk kebingungan, tapi Everdeen mencoba memahami kalimat itu, sepanjang perjalanan ke parkiran Ia berkata padaku
“Tadi petugas itu membuat aku penasaran saja deh”.
“Sudah lah Ev, kamu tidak usah memikirkan kata petugas itu, Ia hanya menakut-nakuti kita saja kok”. Aku berusaha meredam rasa penasaran Everdeen.
“Lah, tunggu deh Nda, kok menakut-nakuti sih? Dia hanya membuat kita penasaran agar kita masuk ke rumah itu. Entah alasannya apa” Ryan langsung menyambar.
“Kalian tidak usah takut atau penasaran karena petugas tadi memang seperti itu, aku sudah mensurvei tempat ini, dan petugas itu memang selalu mengatakannya kepada setiap pengunjung” Nash memberi tahu kami.  
            Sepanjang jalan kami hanya melihat pepohonan hijau yang menjulang tinggi dengan daun dan ranting yang lebat. Dan pada titik tertentu kami melihat atap rumah besar yang dibicarakan petugas tadi. Aku langung melihat Everdeen yang melihatnya dengan tajam, aku tahu rasa penasarannya harus dipenuhi dan dijawab. Hingga akhirnya kami sampai di ujung tempat parkiran dan terdapat lima mobil yang sudah berada di sana terpakir secara rapi. Aku kira tempat ini lebih ramai seperti yang dikatakan Nash tapi ya sudahlah. Kami langsung mengeluarkan tas-tas kami. Finnick merangkul tasnya sambil merasakan berat tasnya.
“Aneh, kenapa tasku agak beratan ya?”
 “Ah dasar kamu, lelaki lemah haha.. Baru segitu saja sudah berat” Ryan langsung angkat bicara
 “Diam saja kamu Ryan.” Finnick langsung membantah perkataan Ryan
            Aku yakin perkataan Ryan untuk membalas pembicaraan di mobil tadi. Setelah menurunkan barang kami, Nash langsung memimpin jalan, melewati semak belukar yang hampir menutupi jalan setapak. Aku berpikir mungkin dia sudah mengetahui titik tempat-tempat yang dijadikan perkemahan nanti.
            Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya kami menemukan sungai dan beberapa orang lain yang sudah memasang tenda di pinggiran sungai. Kami sedikit bercengkerama dengan mereka. Aku bertanya pada Nash
“Nash, kita pasang tenda dimana?”
“Yang pastinya bukan di sini, banyak orang. Aku kurang suka keramaian” Nash berkata.
            Sebetulnya aku bingung, padahal cuma ada dua tenda. Tapi kami terus melanjutkan perjalanan yang dipimpin Nash hingga jam tangan warna hijauku menunjukkan jam tiga lewat lima belas.
“Nash kita mau masang tenda dimana? Sudah mau sore nih.” Kataku.
“Iya, Nash daritadi kita jalan terus. Aku lelah nih” kata Everdeen menambahkan.
“Kaki aku ingin putus nih. Kalau kita jalan terus” Kata Finnick. 
“Iya bentar lagi ya. Di depan situ ya, dekat pohon itu” Kata Nash dengan keringat yang terus mengucur melewati pelipisnya.
            Akhirnya kami berjalan sekitar lima belas meter. Setelah sampai di depan pohon besar yang akarnya menjulur kesegala arah.
“Nah, ayo kita pasang tendanya!” Ryan bersemangat.
            Kami pun bersemangat memasang tenda.
“Yang menyiapkan makan aku saja, kan tendaku sudah jadi” Nash berkata.
            Kami pun mengiyakan perkataan Nash, Finnick dan Ryan membantu kami memasang tenda. Senja pun tiba, Ryan membuatkan api unggun untuk kami, agar tubuh kami tetap hangat dan menjauhkan kami dari binatang-binatang tertentu. Kami duduk melingkari api unggun tersebut, bercanda ria dan hanyut dalam tawa. Sampai akhirnya Nash menguap
“Aku tidur duluan ya, sudah ngantuk”
“Ah, aku juga mau tidur. Lelah sekali.” Finnick pun ikut-ikutan menguap.
            Tinggal kami bertiga duduk di bawah cahaya bulan, Aku, Everdeen, dan Ryan. Karena Aku tahu Everdeen menyukai Ryan jadi kupikir aku bisa meninggalkannya berdua.
“Ev, Ryan, Aku tidur duluan ya.”
“Oh, yasudah Nda. Tidur yang lelap.” kata Ryan.
            Aku pun masuk ke dalam tenda tapi mataku belum bisa tertutup dan diam-diam Aku mendengar percakapan antara Ev dan Ryan.
“Yan, Aku baru sadar. Kamu lihat tidak di balik pohon itu” Everdeen bertanya.
“Sadar apa Ev? Hmm.. Memangnya apa?”
“Itu rumah besar yang dibicarakan petugas tadi.”
“Ya memangnya kenapa? Jangan bilang kamu masih penasaran.”
“Bagus lah kalau begitu. Tanpa Aku bilang kamu sudah mengerti. Ayo kita kesana!”
            Sadar kalau Aku mendengar jelas ajakan Everdeen, Aku pun segera keluar tenda. Mereka pun terkejut, dengan posisi Everdeen menarik tangan Ryan yang sedang duduk. Ryan pun segera melepaskannya.
“Loh, Nda. Kamu belum tidur?”
“Aku juga tidak tahu. Tadi Aku terbangun, mendengar suara Everdeen berbicara tentang rumah besar”
“Sial, Aku sangat penasaran dengan rumah itu. Kalau Aku ajak kamu, kamu pasti melarang dan menyuruhku tidur. Makanya Aku ajak Ryan.” kata Everdeen.
“Lagian kamu penasaran. Oke Aku tahu perasaan penasaran itu bagaimana. Yaudah kita bertiga kesana, supaya kamu tidak penasaran lagi.” kata Aku.
            Akhirnya kami bertiga berjalan melewati semak-semak menuju ke rumah besar itu meninggalkan Finnick dan Nash di tenda. Sesampainya disana, kami bertiga tidak menemukan kecurigaan dari rumah besar ini. Ini hanyalah rumah besar berwana coklat muda dengan taman luas dengan arsitektur gaya lama. Setelah menelusuri rumah itu, kami menemukan tanda bahwa rumah besar ini akan dijadikan museum. Aku teringat dengan perkataan Nash bahwa petugas tadi memang menakut-nakuti setiap pengunjung ke tempat perkemahan ini.
“Tuh kan Ev, kamu tuh tidak percayaan sih.” sambil berjalan melewati jalan setapak dengan pohon yang menjulang tinggi ke atas Aku berkata pada Everdeen.
“Iya iya maaf. Aku kan cuma penasaran.” Everdeen meminta maaf padaku.
            Akhirnya kami bertiga kembali ke tenda dengan dinginnya angin malam yang terus menusuk melewati jaket kami. Saat di pertengahan jalan melewati pohon besar,
“Makanya Ev, kalau penasaran lihat waktu dan tempat ya. Bener kan Yan?” kataku.
“Yan? Kok kamu diam saja sih Yan”
            Ada yang aneh, Aku menyadari bahwa Ryan tidak ada.
“Loh, Ev. Ryan dimana?” Aku menghentikan langkahku dan melihat ke belakang Everdeen.
“Lah, Ryan? Ryaan?” Everdeen juga menghentikan langkahnya dan berbalik badan mencari Ryan.
“Ev, bukannya Ryan ada di belakang kamu?”
“Tadi sih iya. Aku tidak tahu, Nda.”
“Apa Ryan sudah berjalan duluan ke tenda?!” Aku bertanya pada Everdeen dengan nada khawatir.
            Aku dan Everdeen mencari melihat sekeliling kami, saat terdengar langkah kaki mematahkan ranting yang rapuh di tanah, mata kami saling bertemu. Rasa panik yang tersirat dari wajah kami langsung memuncak.
            Dengan sekuat tenaga, Kami berlari melewati semak belukar yang seakan mengerat menahan langkah kami. Kami ketakutan, Aku berlari di depan Everdeen. Akhirnya Kami sampai di tenda warna biru dan hijau milik kami. Keringat kami makin mengucur deras, ketika melihat tak ada siapapun di sana. Kami pun masuk ke dalam tenda kami, berdiam diri di dalam tenda dengan napas yang terengah-engah. Jam di tangan ku menunjukkan jam satu lewat tujuh malam, empat atau lima menit kemudian Kami mendengar suara Finnick. Dengan senter di tangannya, dia menyibak tenda kami.
“Hei, kalian kemana saja?!” Finnick bertanya dengan nada sedikit kesal.
            Kami berdua langsung cepat-cepat keluar dari tenda,
“Kita habis dari rumah besar di sana. Tapi itu tidak penting, di tengah perjalanan ke sini Ryan hilang!” Aku berkata dengan nada tinggi.
“Iya, Ryan hilang Nick.” Everdeen menambahkan.
            Aku tahu perasaan Everdeen meskipun mereka belum saling memiliki.
“Loh, kenapa bisa?! Kalian bercanda ya?! Memangnya ada yang menculik dia, ha?!” kata Finnick.
“Kami berdua tidak tahu. Lalu kamu dari mana? Saat Kami kesini tidak ada orang di tenda.”
“Aku mencari kalian…” kataku. Lalu, tiba-tiba, Nash datang.
“Kenapa pada ribut-ribut sih? Kalian darimana saja? Aku mencari kalian semua.” Nash bertanya pada kami.
“Kamu yang darimana Nash. Aku, Amanda dan Ryan tadi dari rumah besar itu. Tapi di tengah perjalanan kemari, Ryan hilang dan saat Kami kembali ke tenda tidak ada satupun orang di tenda.” Everdeen berkata dengan nada emosi.
“Aku tadi terbangun, Finnick tidak ada di sampingku lalu saat aku keluar tidak ada kalian di luar. Jadi Aku mencari kalian.” Nash menjawab.
“Jadi, Ryan hilang. Bagaimana ini? Tidak ada yang tahu dia dimana dan sekarang bukan waktunya Kita saling menyalahkan.” Kata Finnick.
“Apa Kita harus mencari dia sekarang?” kataku.
“Iya kita lebih baik mencari Ryan. Dia susah melihat di malam hari ini.” kata Everdeen dengan khawatirnya.
“Kalau menurutku kita tidur saja, mengumpulkan tenaga. Lagipula ini bukan hutan belantara, ini hutan lindung yang dijadikan tempat perkemahan. Pasti ada petugas yang berjaga. Pagi hari baru kita cari.” Nash berkata.
            Semula, Aku setuju dengan perkataan Nash karena mengingat dia sudah mensurvei tempat ini dan melihat keadaan bahwa kami benar-benar ngantuk.
“Tidak bisa begitu Nash! Kamu tidak kasihan dia di sana sendirian?” Everdeen berkata dengan cemas yang menghiasi wajahnya.
“Kalau kalian memang mau tidur ya sudah tidur saja!” Everdeen menambahkan.
            Aku tentu tidak tega dengan Everdeen, Aku tetap menemani dia.
“Yasudah bagaimana Aku dan Nash mencari Ryan sedangkan kalian berdua tetapi disini. Berjaga-jaga kalau Ryan kembali.” Finnick berkata.
            Aku dan Everdeen menuruti saja.
“Ya itu benar! Daripada kalian mencarinya? Lebih baik aku dan Finnick yang mencarinya. Ayo Nick!” kata Nash.
            Mereka pun berjalan mencari Ryan dengan senter sebagai penerang jalan mereka. Aku membuat api unggun kecil untuk menemani dinginnya malam ini karena kami butuh kehangatan untuk bertahan sampai mereka kembali. Everdeen mulai menguap, tapi dia berusaha untuk tetap terjaga karena Aku tahu dia masih khawatir.
“Ev, lebih baik kamu tidur. Nanti kalau mereka kembali aku pasti membangunkan kamu.” Kataku.
“Hoaam.. Iya sih aku ngantuk. Tapi.. Sekarang jam berapa?” Everdeen berkata.
“Sekarang jam satu lewat empat tujuh. Begini saja aku akan bangunkan kamu satu jam lagi.”
“Baiklah, tapi bangunkan aku jam setengah tiga saja kalau mereka belum kembali.”
“Baiklah.”
            Everdeen pun masuk ke dalam tenda dan Aku tetap duduk di luar ditemani api unggun bermandikan cahaya bulan dan bintang. Waktu terus berlalu dan mereka pun belum kembali. Jam ku berbunyi, aku membuka mataku. Aku ketiduran di luar di atas tanah, beruntung aku tidak tidur di atas api unggun yang membara. Aku pun berdiri dan merapikan bajuku. Aku melihat jam tanganku, tepat jam setengah tiga. Mereka masih belum kembali. Aku pun teringat dengan janjiku untuk membangunkan Everdeen, Aku pun masuk ke dalam tenda. Aku mengusap-usap mataku, betapa terkejutnya Aku. Everdeen menghilang, Aku langsung meneriakan namanya.
“Ev.. ! Ev..! Evee..! Everdeen..! Everdeeeen!!” teriakku.
            Tidak ada satu pun suara yang menanggapi teriakanku kecuali suara jangkrik. Leherku terasa tercekik, kemana Everdeen? Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku tertegun lama, aku duduk kembali di samping api unggun. Aku ketakutan, kedingininan dan aku kesepian. Aku tidak tahu harus berbuat apa atau harus berlari kemana. Ryan menghilang, Finnick dan Nash belum kembali mencari Ryan dan sekarang Everdeen menghilang karena kecerobohanku. Aku langsung mencari telepon genggamku yang berada di tas di dalam tenda. Tapi tidak ada. Aku mencari ke tas lain, berharap ada telepon selular siapapun tapi nihil. Dan saat aku memeriksa tas Finnnick, di bagian bawah tasnya terdapat batu-batu. Aku bingung tapi aku menghiraukannya karena Aku mendengar langkah kaki dan suaru bruk, suara orang tersandung. Tanpa pikir kembali Aku langsung keluar tenda dan mengarahkan senterku padanya. Tidak salah lagi Aku melihat kacamata berwarna hitam beraksen merah diujungnya yang salah satu lensanya tidak ada. Ryan kembali dengan badan yang tersungkur di tanah. Aku menggoyangkan badannya
“Ryan Ryan bangun bangun. Ryan kamu darimana saja? Ryan kenapa kamu baju kamu lusuh? Kenapa kacamata kamu rusak?” tanyaku
            Ryan terbangun dengan suara erangan kesakitan, mungkin karena Ia tersandung akar yang ada di permukaan tanah, pikirku.
“Argh.. Amanda, dimana Ev dan Finnick?!” Ryan berkata tanpa menjawab satu pertanyaan yang Aku ajukan.
“Finnick pergi bersama Nash mencari kamu Yan, kalau Everdeen aku tidak tahu, dia tiba tiba menghilang. Aku ceroboh, aku menyuruh dia tidur tapi aku juga ketiduran.” Aku menjawab pertanyaan Ryan dengan rasa bersalah.
“Ya sudah ayo kita cari mereka. Nanti aku akan jelasin semuanya.”
            Sebetulnya Aku sangat pernasaran kenapa Ryan bisa seperti ini tapi keselamatan yang lain lebih penting.
“Kita ke rumah besar itu.” Ryan berkata dan kami pun menelusuri jalan itu lagi.
            Ryan menjelaskan semuanya, Ia disandera oleh orang misterius, Ryan tidak bisa mengingat wajahnya karena orang itu menutupi wajahnya. Ryan yakin orang itu adalah laki-laki, karena dilihat dari postur tubuh dan tenaga yang kuat saat dia memukul Ryan dan menyanderanya di gubuk samping rumah besar itu.
“Aku berhasil selamat karena aku melihat ada besi karatan disamping kursiku. Aku terus menggesek-gesekan tali ke besi tua itu. Setelah itu saat aku kabur keluar dari pintu, aku melihat dua orang, aku tidak tahu dan pada saat itu juga orang yang lainnya memukul tepat di kacamataku, sangat sakit rasanya. Aku tersungkur jatuh. Aku melihat tangan yang diikat di tali. Aku pura pura pingsan dan saat orang yang lain menyanderanya memasukkannya ke gubuk itu aku langsung lari kesini.”
            Aku hanya bisa diam mendengar kejadian yang dialami Ryan, disatu sisi aku takut dan bertanya siapa yang melakukan itu kepada kami? Sekitar lima meter dari pagar rumah besar itu Ryan berhenti
“Amanda kamu mendengar suara itu tidak?”
“Suara apa Yan?”
            Aku mencari-cari suara yang didengar Ryan, perlahan Aku bisa mendengarnya. Kami langsung lari ke arah suara itu, suara itu berasal dari taman di depan rumah besar itu. Kami mencari sumber suara itu. Suara itu berada di dalam tanah, Kami melihat lubang yang agak dalam dan lebar sekitar empat kali empat meter. Kami mengintip ke dalam lubang itu, Aku melihat wajah itu, wajah Everdeen.
“Ev? Everdeen?” Aku berkata.
            Tanpa pikir panjang, Aku langsung merayap turun ke dalam tanah. Aku langsung membuka isolasi di mulut Everdeen dan membuka ikatan tali yang membelit di tangan dan di kakinya.
“Kamu kenapa bisa disini Ev?” Aku bertanya sambil membuka ikatannya.
“Aku tidak tahu Nda, Aku tiba-tiba terbangun disini.” Everdeen menjawab.
            Aku tidak mau menanyakan yang aneh aneh lagi Aku takut dia semakin trauma.
“Ayo kita keluar dari lubang ini.” Aku menundukkan badanku agar Everdeen bisa naik ke pundakku dan mencapai permukaan tanah.
            Sesampainya Everdeen diatas, Everdeen langsung mengulurkan tangannya. Aku pun menarik diriku keluar dibantu oleh tarikan tangan Everdeen. Sesampainya di permukaan tanah Aku bingung. Tidak ada Ryan.
“Loh, Ryan? Ryan kemana?” Aku mencari keselilingku.
“Ryan? Dia sudah ketemu?” Everdeen menjawab dengan kebingungan.
            Aku melihat sosok yang menyeret tubuh lewat pintu di samping rumah besar itu.
“Ev lihat itu..” Aku berbisik kepada Everdeen.
“Apa itu Ryan? Kenapa dia masuk ke rumah itu?”
“Aku tidak tahu Ev, ayo kita masuk lewat jendela itu.” Aku menunjuk ke jendela yang kacanya pecah.
            Everdeen mengikuti perintahku. Kami berjalan layaknya detektif berjingkrak ke sana ke mari. Everdeen memanjat jendela pecah itu, lalu Aku bergantian memanjat jendela itu. Betapa terkejutnya kami melihat Finnick bersimbah darah terduduk di lantai pojok di ruang tamu. Kami segera menghampirinya.
“Finnick, kamu kenapa? Siapa yang melakukan ini?!” kataku dengan kaget.
“Iya, Nash dan Ryan mana?!” Everdeen berkata.
“Kalian lari pergi sana! Kalian akan dibunuh!” Finnick berkata dengan nada yang rendah.
            Aku melihat luka tusuk di bahunya dan di pahanya.
“Nick, Kamu bertahan ya. Kita akan cari bantuan.” kataku.
“Nash.. Kalian.. jangan.. jangan..” Finnick berkata dengan rasa sakit yang di deritanya.
            Tiba-tiba Nash muncul,
“Kalian ada disini semua?! Syukurlah. Finnick?! Kenapa kamu..?! Amanda, Ev, Finnick kenapa?!” Nash berkata dengan panik dengan darah yang Ia lihat.
“Aku tidak tahu. Finnick sudah seperti ini. Kami baru saja tiba.” Everdeen berkata.
            Aku pun melihat tatapan Finnick ke arah Nash yang ingin bicara tapi tidak bisa.
“Ryan dimana?!” Nash melihat ke sekitar.
“Aku tidak tahu dia dimana. Yang terpenting kita harus mencari bantuan untuk Finnick.” Everdeen berkata.
“Argh..” Finnick meraung, rasa sakitnya memuncak.
            Nash langsung menelpon bantuan, menelpon petugas lalu menggendongnya. Kami langsung keluar mendobrak pintu, Kami mengikuti langkah Nash. Aku melihat raut wajah Everdeen yang khawatir, khawatir akan Ryan. Aku dan Everdeen teringat akan lubang dalam dan lebar, tempat Ia terperangkap tadi.
“Tunggu Nash! Jangan lewat situ di sana ada lubang.” Everdeen berusaha mengingatkan Nash.
            Tapi Nash tetap berjalan berusaha tetap kuat menggendong Finnick. Aku mempercepat langkahku
“Nash!”
            Saat Aku tepat berada di belakang Nash Aku melihat lensa yang terlepas dari kantong belakangnya karena tubuhnya yang terombang-ambing Aku langsung mengambilnya.
“Nash! Tunggu!” Aku berteriak, lalu Nash menghentikan langkahnya dan menaruh Finnick di tanah.
“Kalian kenapa sih? Finnick harus cepat cepat ditolong.”
            Lalu, dering telepon selular Nash berbunyi, dia mengangkatnya.
“Syukurlah. Bantuan akan segera datang.”
            Kami semua menunggu di depan pagar depan rumah besar. Everdeen berjalan ke arah tubuh Finnick dan mengangkat kepalanya dan menjadikan kaki dan tangannya sebagai bantal agar Finnick bisa sedikit lebih nyaman. Aku hanya bisa melamun melihat keadaan Finnick. Dalam lamunanku aku berpikir. Aku mengingat kejadian semua ini. Kenapa Nash menanyakan Ryan di rumah tadi? Padahal dia sedang mencari Ryan bersama Finnick. Lalu kenapa Finnick sendirian bersimbah darah di dalam rumah? Aku teringat akan lensa yang jatuh dari kantong celana Nash dan kacamata Ryan yang lensanya hilang satu. Aku melihat sekeliling mencari Ryan dan menyembunyikan lamunan panjangku. Aku bertanya pada Nash.
“Nash, lensa ini jatuh dari kantung celanamu.” Aku memberikan lensanya ke Nash.
“Oh, iya terima ka..”
            Tiba-tiba bruk.. Nash jatuh seketika tersungkur di atas tanah, matanya langsung terpejam. Aku langsung berdiri
“Ha?! Ryan?! Syukurlah kamu.” Everdeen dan Finnick terkejut dengan kedatangan Ryan dan hantaman kayu ke punggung Nash.
“Amanda Everdeen Ryan, selama ini Nash membohongi kita. Dia berteman baik dengan Finnick dan kita agar dia bisa membalaskan dendamnya.” kata Ryan menjelaskan.
            Finnick memandangi Kami, terlihat jelas pandangan lega di wajahnya sedangkan Everdeen hanya bisa diam dan bingung. Kami melihat mobil mendekati kami, petugas itu langsung menanyakan apa yang terjadi di sini. Petugas yang lain yang mengendarai mobil turun dan membantu Ryan menaikkan Finnick naik ke atas mobil petugas itu.
“Tenang, Pak kita bisa menjelaskannya di perjalanan nanti. Keselamatan teman kami lebih penting” kataku.
“Aku juga akan menceritakannya kepadamu Ev.” Aku menambahkan agar rasa penasaran Everdeen bisa diredam.
            Petugas yang berada di mobil turun memeriksa keadaan sekeliling dan menyuruh Ryan duduk di depan di tengah para petugas. Lalu, Aku dan Everdeen pun langsung bergegas naik ke mobil. Ketika petugas yang mengendarai ingin membukakan pintu mobil, tiba-tiba Nash memukul petugas itu dengan kayu, tanpa banyak pikir Ryan langsung pindah ke samping ke tempat duduk supir dan langsung mengunci pintunya. Ia langsung menancapkan gas  meninggalkan Nash. Tetapi, Nash masih bisa memukul kaca mobil bagian belakang. Kami beruntung pukulan Nash tidak sekuat yang Kami kira, kaca mobil tidak pecah dan Kami langsung meninggalkan Nash di belakang. Aku mendengar Ia berteriak memekik mengumpat pada Kami. Tapi Kami tidak menghiraukannya Kami kurang bisa mendengar apa yang Ia bicarakan. Kami tetap berjalan meninggalkan Nash dengan perasaan ketakutan yang tenang.
            Tegang dan panik menghiasi wajah-wajah yang berada di mobil. Napasku Everdeen, Finnick, Ryan dan petugas terengah-engah karena takut mengingat kejadian tadi. Ryan mengendarai mobil dengan petugas yang memegang menunjukkan arah jalan keluar. Diperjalanan Aku, Everdeen, Ryan dan sekali-kali Finnick menceritakan peristiwa yang terjadi. Dari awal Aku memang merasa aneh dengan Nash yang tiba-tiba membeli rumah, lalu dia tidak mau membuat perkemahan dekat sungai, dia yang selalu memimpin jalan, tas Ryan yang terisi dengan batu-batu, lalu aku berpikir Ia sengaja memimpin Kami membentuk perkemahan dekat dengan rumah besar dimana Everdeen penasaran dengan tempat itu dan itu sudah disediakan lalu agar mudah membunuh kami.
“Jadi begini Nda, Nash ingin membalaskan dendam yang Ia sudah pendam dari kecil. Finnick adalah anak yang ayahnya tak sengaja menabrak Ibu Nash. Ayah Finnick tidak bertanggung jawab, Ibu Nash adalah korban tabrak lari. Awalnya Nash memang teman baik Finnick. Nash sering bermain ke rumah Finnick dan melihat mobil yang menabrak Ibunya. Nash sudah merencanakan ini sejak lama. Karena Finnick adalah bagian dari geng kita. Ia merasa terhambat. Dan Ia menemukan waktu yang tepat untuk mebalaskan dendamnya di tempat ini. Kamu ingat kan dia sudah mensurvei tempat ini?” Ryan menjelaskan semuanya Ia juga menjelaskan bahwa Ia sudah dua kali disekap Nash dan dua kali juga Ia bisa mengatasi semua itu.
“Iya yah. Aku ingat semuanya. Dia pernah menceritakan kejadian itu. Aku dan Nash juga menjadwalkan perkemahan ini. Aku rasa dia yang menaruhkan batu batu di tas Finnick yang keberatan. Dia yang paling awal bangun pagi waktu itu.” Aku berkata menjelaskan peristiwa ganjil yang baru kami sadari sekarang.
            Sekali-kali Aku teringat pada Nash yang tertinggal, apa dia akan kembali lagi?. Aku melihat sekeliling, wajah lelah dan mata yang membengkak di muka Ryan, lalu Aku melihat Everdeen yang mengelus rambut Finnick yang tertidur dan petugas yang rutin melaporkan keadaan lewat walkie talkienya. Perasaan cemburu mengelilingiku, tapi Aku nengenyampingkan perasaan itu toh mereka memang cocok. Sekali-kali Ryan melihat ke kaca spion, memandangku dan tersenyum kecil kepadaku. Aku hanya bisa tersipu malu dan membalas senyuman kecilnya. Tak terasa akhirnya Kami sampai di gapura dengan mobil ambulan dan mobil polisi yang sudah menunggu merawat Kami dan menginterogasi Kami. Aku melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul setengah enam. Satu hari yang tak bisa terlupakan oleh kami semua, geng gulali.


ps : ini tugas bahasa indonesia, bikin cerpen. saking sukanya sm THG gw ngambil nama karakternya dari situ. maaf aja, ya gitulah ya.